Selamat hari rabu pagi!
Biasanya, gw menulis blog malam hari, saat menjelang tidur, saat di kepala ingin sekali merangkum semua hal yang berjalan dan pikiran pikiran yang berkecamuk selama satu hari penuh. Tapi beberapa hari ini rasanya gw ga punya cukup tenaga untuk meluangkan waktu sebentar untuk menulis sepenggal cerita yang bisa disaring dari hari-hari gw yang rasanya berlari begitu cepat.
Pagi ini, saat memesan kopi susu di warung kopi sebelah kantor, seperti yang biasa gw lakukan beberapa hari sekali, tiba-tiba aja gw pengen banget nulis blog. Sambil mendengarkan irama-irama yang tidak pernah berganti yang berputar di music player ponsel gw, ditemani wangi kopi yang sedang di-roast di lantai bawah warung kopi, rasanya pagi ini waktu yang tepat banget untuk menuliskan apa yang mengganggu di pikiran gw.
Telat sedikit ke kantor nggak apa-apa ya paaak, dikit aja kook, I just need my morning me time a lil bit.
Beberapa hari ini gw semacam mengalami writer’s block. Ciye, semacam berasa penulis, hahahaha, tapi gw mengalami buntu ide, mau nulis apa lagi ya di blog? Karena gw lagi khawatir, kalau gw tulis sesuatu, akhirnya gw akan curhat. Lagi sensitif sekali untuk curhat itu kejadian sekarang ini. Soalnya, gw udah lama berusaha untuk ga nulis curhat di blog. Dan dengan kondisi hati yang sekarang ini, tulisan di chat atau di socmed aja pasti sudah langsung terkontaminasi curhat. Ini aja udah curhat! For God sake, Nani! ahahahahaha
Ok, sepertinya memang ga akan bisa menghindar terlalu jauh dari curhat, baiklah, kita relakan saja, tapi kali ini, gw ga akan curhat soal galau galau kaya postingan blog gw beberapa tahun lalu saat naluri alay masih menggelora. Kali ini, akhirnya gw akan menulis soal kehilangan. Kehilangan salah satu orang yang paling berharga dalam hidup gw: bapak.
Gw ga tahu apa yang akan terjadi saat menuliskan ini, apakah gw akan menangis di warung kopi ini sambil menuliskan semua cerita, atau seperti apa, gw akan biarkan cerita ini mengalir sendiri terserah jari gw mau bergerak seperti apa.
Selama dua puluh sembilan tahun gw hidup, gw nggak pernah menyangka akan kehilangan bapak pada saat gw masih muda. Dalam imajinasi gw, gw akan mengalami fase pernikahan didampingi bapak, akan ada perkenalan antara suami gw dengan bapak yang berkarakter cukup keras itu. Gw selalu berimajinasi bahwa gw harus berusaha menemukan seorang pria yang bisa mengerti bapak, karena di usia tuanya, bapak bukanlah seorang pria yang mudah dimengerti. Sampai saat terakhir hidupnya, gw ga berhasil melihat kakak-kakak ipar gw ada yang benar-benar berhasil sejalan dengan pemikiran bapak.
Bapak itu adalah salah satu manusia unik yang pernah gw kenal. Keras, tapi lembut. Kaku, tapi lucu, Romantis, tapi kadang juga sinis. Bapak seperti sebuah koin dengan dua sisi yang berlawanan. Dia punya semuanya, good and bad, high and low, everything. Saat bapak menjelang hari tuanya, dengan kondisi fisiknya yang kurang sempurna, somehow gw tahu bahwa gw akan kehilangan dia dalam waktu cepat. Saat itu juga gw menduga bahwa gw mungkin ga akan mendapat kesempatan untuk menjalani banyak hal yang gw imajinasikan itu dengan bapak, melihat bapak semakin tua dan melemah, some how gw tahu bahwa sisa-sisa umur gw akan gw fokuskan untuk berusaha memenuhi kebutuhan ibu dan bapak, bukan buat gw lagi. Somehow gw jadi ga peduli soal pria yang akan berdiri di samping gw itu siapa. Apa gw akan punya pacar atau suami, gw ga begitu peduli itu lagi. Dan ternyata dugaan gw benar, dan gw cukup bersyukur gw punya banyak waktu dan kesempatan untuk bersama bapak di akhir waktunya saat itu. Karena selama ini gw merasa selalu kurang untuk punya waktu bersama bapak. Saat bapak muda, bapak sering ke luar kota. Beliau sering juga di rumah, tapi entah kenapa ingatan gw mengenai hal itu tidak begitu jelas. Entah mungkin karena kehidupan gw lebih banyak berpusat di ibu, atau gw memang tidak begitu dekat saja dengan bapak.
Bapak dan gw sering banget beradu argumen sejak gw beranjak remaja dan dewasa. Dewasa muda, saat gw adalah manusia penuh emosi, adalah saat-saat gw dan bapak nggak pernah akur. Apa pun yang kami bahas selalu berakhir dengan saling keras berbicara. Mulai sejak itu, kami selalu berkomunikasi melalui ibu. Ibu is our owl kalau kata anak2 hogwarts mah. Karena kalau kami komunikasi langsung, ujungnya adalah pertengkaran. Sampai gw udah ga inget lagi kapan itu semua berakhir dan belakangan sejak gw lumayan dewasa gw dan bapak sudah mulai bisa berkomunikasi dengan baik lagi. Tapi sisa kekakuan itu masih ada. Dan gw sangat menyesal telah melalui itu semua. Sampai suatu ketika, salah satu mantan gw lebih mementingkan perasaannya daripada kondisi bapak yang saat itu sedang drop masuk rumah sakit, dan akhirnya hubungan gw dengan mantan pun berakhir.
Saat itu gw sadar bahwa gw membutuhkan seseorang yang bukan hanya mengerti gw, tapi juga mengerti orang tua gw, yang memahami bahwa orang tua gw juga akan menjadi orang tuanya. Tapi sekarang bapak sudah nggak ada, nothing of it even matter anymore.
Mungkin gw dan bapak bukan tipe ayah anak yang saling caring banget, yang apa-apa bareng, yang sering menghabiskan waktu berdua. Kenyataannya kami berdua sama-sama kaku, sama-sama suka saling menyakitkan kalau berbicara, sama-sama keras, sama-sama semaunya sendiri, sama-sama egois, sama-sama manja, sama-sama maunya didengerin bukan ngedengerin, sama-sama maunya ngatur, ga mau diatur, dsb. Mungkin karena itu, akhirnya setelah delapan bulan Bapak meninggalkan kami, akhirnya gw benar-benar mengerti rasa kehilangan bapak itu seperti apa. Maaf ya pak, it takes me eight month to realize how much I miss you. I keep on ignoring the feeling of loosing you, I push away that feeling so hard, that I didn’t realize that it actually crashing me from inside.
This little girl miss you so bad, dad.
Biasanya, gw menulis blog malam hari, saat menjelang tidur, saat di kepala ingin sekali merangkum semua hal yang berjalan dan pikiran pikiran yang berkecamuk selama satu hari penuh. Tapi beberapa hari ini rasanya gw ga punya cukup tenaga untuk meluangkan waktu sebentar untuk menulis sepenggal cerita yang bisa disaring dari hari-hari gw yang rasanya berlari begitu cepat.
Pagi ini, saat memesan kopi susu di warung kopi sebelah kantor, seperti yang biasa gw lakukan beberapa hari sekali, tiba-tiba aja gw pengen banget nulis blog. Sambil mendengarkan irama-irama yang tidak pernah berganti yang berputar di music player ponsel gw, ditemani wangi kopi yang sedang di-roast di lantai bawah warung kopi, rasanya pagi ini waktu yang tepat banget untuk menuliskan apa yang mengganggu di pikiran gw.
Telat sedikit ke kantor nggak apa-apa ya paaak, dikit aja kook, I just need my morning me time a lil bit.
Beberapa hari ini gw semacam mengalami writer’s block. Ciye, semacam berasa penulis, hahahaha, tapi gw mengalami buntu ide, mau nulis apa lagi ya di blog? Karena gw lagi khawatir, kalau gw tulis sesuatu, akhirnya gw akan curhat. Lagi sensitif sekali untuk curhat itu kejadian sekarang ini. Soalnya, gw udah lama berusaha untuk ga nulis curhat di blog. Dan dengan kondisi hati yang sekarang ini, tulisan di chat atau di socmed aja pasti sudah langsung terkontaminasi curhat. Ini aja udah curhat! For God sake, Nani! ahahahahaha
Ok, sepertinya memang ga akan bisa menghindar terlalu jauh dari curhat, baiklah, kita relakan saja, tapi kali ini, gw ga akan curhat soal galau galau kaya postingan blog gw beberapa tahun lalu saat naluri alay masih menggelora. Kali ini, akhirnya gw akan menulis soal kehilangan. Kehilangan salah satu orang yang paling berharga dalam hidup gw: bapak.
Gw ga tahu apa yang akan terjadi saat menuliskan ini, apakah gw akan menangis di warung kopi ini sambil menuliskan semua cerita, atau seperti apa, gw akan biarkan cerita ini mengalir sendiri terserah jari gw mau bergerak seperti apa.
Selama dua puluh sembilan tahun gw hidup, gw nggak pernah menyangka akan kehilangan bapak pada saat gw masih muda. Dalam imajinasi gw, gw akan mengalami fase pernikahan didampingi bapak, akan ada perkenalan antara suami gw dengan bapak yang berkarakter cukup keras itu. Gw selalu berimajinasi bahwa gw harus berusaha menemukan seorang pria yang bisa mengerti bapak, karena di usia tuanya, bapak bukanlah seorang pria yang mudah dimengerti. Sampai saat terakhir hidupnya, gw ga berhasil melihat kakak-kakak ipar gw ada yang benar-benar berhasil sejalan dengan pemikiran bapak.
Bapak itu adalah salah satu manusia unik yang pernah gw kenal. Keras, tapi lembut. Kaku, tapi lucu, Romantis, tapi kadang juga sinis. Bapak seperti sebuah koin dengan dua sisi yang berlawanan. Dia punya semuanya, good and bad, high and low, everything. Saat bapak menjelang hari tuanya, dengan kondisi fisiknya yang kurang sempurna, somehow gw tahu bahwa gw akan kehilangan dia dalam waktu cepat. Saat itu juga gw menduga bahwa gw mungkin ga akan mendapat kesempatan untuk menjalani banyak hal yang gw imajinasikan itu dengan bapak, melihat bapak semakin tua dan melemah, some how gw tahu bahwa sisa-sisa umur gw akan gw fokuskan untuk berusaha memenuhi kebutuhan ibu dan bapak, bukan buat gw lagi. Somehow gw jadi ga peduli soal pria yang akan berdiri di samping gw itu siapa. Apa gw akan punya pacar atau suami, gw ga begitu peduli itu lagi. Dan ternyata dugaan gw benar, dan gw cukup bersyukur gw punya banyak waktu dan kesempatan untuk bersama bapak di akhir waktunya saat itu. Karena selama ini gw merasa selalu kurang untuk punya waktu bersama bapak. Saat bapak muda, bapak sering ke luar kota. Beliau sering juga di rumah, tapi entah kenapa ingatan gw mengenai hal itu tidak begitu jelas. Entah mungkin karena kehidupan gw lebih banyak berpusat di ibu, atau gw memang tidak begitu dekat saja dengan bapak.
Bapak dan gw sering banget beradu argumen sejak gw beranjak remaja dan dewasa. Dewasa muda, saat gw adalah manusia penuh emosi, adalah saat-saat gw dan bapak nggak pernah akur. Apa pun yang kami bahas selalu berakhir dengan saling keras berbicara. Mulai sejak itu, kami selalu berkomunikasi melalui ibu. Ibu is our owl kalau kata anak2 hogwarts mah. Karena kalau kami komunikasi langsung, ujungnya adalah pertengkaran. Sampai gw udah ga inget lagi kapan itu semua berakhir dan belakangan sejak gw lumayan dewasa gw dan bapak sudah mulai bisa berkomunikasi dengan baik lagi. Tapi sisa kekakuan itu masih ada. Dan gw sangat menyesal telah melalui itu semua. Sampai suatu ketika, salah satu mantan gw lebih mementingkan perasaannya daripada kondisi bapak yang saat itu sedang drop masuk rumah sakit, dan akhirnya hubungan gw dengan mantan pun berakhir.
Saat itu gw sadar bahwa gw membutuhkan seseorang yang bukan hanya mengerti gw, tapi juga mengerti orang tua gw, yang memahami bahwa orang tua gw juga akan menjadi orang tuanya. Tapi sekarang bapak sudah nggak ada, nothing of it even matter anymore.
Mungkin gw dan bapak bukan tipe ayah anak yang saling caring banget, yang apa-apa bareng, yang sering menghabiskan waktu berdua. Kenyataannya kami berdua sama-sama kaku, sama-sama suka saling menyakitkan kalau berbicara, sama-sama keras, sama-sama semaunya sendiri, sama-sama egois, sama-sama manja, sama-sama maunya didengerin bukan ngedengerin, sama-sama maunya ngatur, ga mau diatur, dsb. Mungkin karena itu, akhirnya setelah delapan bulan Bapak meninggalkan kami, akhirnya gw benar-benar mengerti rasa kehilangan bapak itu seperti apa. Maaf ya pak, it takes me eight month to realize how much I miss you. I keep on ignoring the feeling of loosing you, I push away that feeling so hard, that I didn’t realize that it actually crashing me from inside.
This little girl miss you so bad, dad.
Comments
Post a Comment