Skip to main content

To live with or without social media?

Social media, dan paradigma sosial. Sounds heavy ya. Apa pula itu paradigma sosial, saya pun asal aja pilih kata. Tapi ya, setelah beberapa bulan nggak ngepost blog, entah kenapa hari ini tiba-tiba mau nulis soal social media.

Social media, adalah salah satu lahan yang sudah beberapa tahun terakhir ini dipisahkan dari hidup saya. Awalnya sih, hanya sekedar terbawa trend. Lingkungan memperkenalkan pada social media saat awal kuliah. Ingat jaman "Jangan lupa tulis testi yang di friendster gw!" sampai sekarang bergeser ke "repath yaaa..", social media selalu ada di tangan. Well, dulu sih desktop, hanya dibuka saat malam dan koneksi internet dari kabel telpon, hingga hari ini pasti buka saat di tengah perjalanan atau bahkan pekerjaan.

Peran social media pun banyak bagi saya, sebagai moda aktualisasi diri, sebagai media utama yang ditawarkan kepada klien kantor, sebagai media eksistensi, sebagai media berjualan, sebagai media informasi, sebagai media silaturahmi, sebagai media bertemu kekasih (yeap, dulu pernah sekali pacaran dengan diawali oleh perkenalan di Facebook, yang ternyata akhirnya ke perkenalan bisnis sekaligus jadi pacar. But its long time ago, no need to talk about it further), sebagai media nyinyir, sebagai media galau, dan sebagainya.

Lalu masuk lah pada kejenuhan bersocial media. Mulai lah bergeser pada media-media yang berfungsi sebagai inspirational source, just name it, Pinterest, Imagefave, etc. Tapi tetap bukan berarti saya berhenti bersocial media. Masuklah saya ke periode dimana hanya bersocial media dengan akun-akun milik klien. Akun pribadi hanya dipakai untuk log in admin, yang pada ujungnya juga mengerjakan pekerjaan kantor, atau berjualan. Tapi media aktualisasi diri sudah mulai berkurang peranannya. Dan kemudian di saat yang sama, kenal lah saya dengan lelaki ini. Iya, pacar saya sekarang. Dia yang berkata bahwa social media itu jahat. Social media itu tempat yang membentuk asumsi, dan terjebak asumsi adalah hal yang paling tidak dia suka dan tidak dia inginkan dalam hidupnya.

Pertama denger ini, di kepala saya berkecamuk ribuan pertanyaan. "kok gitu sih?" "kenapa ga mau sih gw masuk socmednya?" "kenapa harus gini sih?" "apa ada yang disembunyiin dari gw?" "apa malu klo lingkungannya tau dia pacaran sama gw?" etc, dll, dsb. Banyak sekali pertanyaan asumsi keluar dari kepala panas ini. Tapi saya nggak tanya itu semua ke dia. Masih awalnya beberapa kali saya coba untuk meyakinkan dia untuk berteman dengan saya di social media. Tapi akhirnya saya masuk pada satu titik "ok, kalau memang itu pemahaman dia soal social media, so be it. Aku ikuti."

Setelah beberapa waktu, baru saya sadar, iya juga ya, banyak hal buruk yang bersumber dari adanya social media. I shouldn't be proud saying myself as a social media person. I really shouldn't. Lalu kenapa hari ini tiba-tiba saya bahas soal social media? Karena pagi ini baru saja selesai mengobrol dengan seorang teman dengan topik social media, terutama Path. Di sini, sang teman bicara:

"Gw sekarang menghindari Path. Karena sudah lagi nggak sesuai dengan konsep aktualisasi diri yang gw pahami. Sekarang, Path dipakai dengan sangat bebas bagi orang-orang untuk "seolah-olah" beraktualisasi diri, padahal mereka nggak melakukan itu. Sekarang semua soal digital. Sekarang apa saja yang dilakukan sebagai aktualisasi diri kemudian dialihkan ke media digital, dan aktualisasi diri itu cukup hanya dilakukan secara digital. Gw sih nggak masalah dengan konsep aktualisasi diri di digital, tapi dengan Path, semua jadi hilang maknanya. Sekarang gini, saat seseorang berkarya, benar-benar berkarya dan dilakukan secara offline, karya itu jadi. Sesuatu yang sudah dia buat, dan menjadi sesuatu itu real. Sementara Path, siapa saja bisa berpura-pura melakukan sesuatu dan kemudian post di Path, mendulang perhatian dengan love, laugh atau komen. Tapi apakah dia benar-benar melakukan dan menghasilkan sesuatu? Belum tentu. Di sini, nilai sesungguhnya dari aktualisasi diri itu pudar. Sebenarnya memang nggak berbeda dengan Facebook yang dari awal sudah membuat hal seperti ini, tapi dengan fitur dan kemudahan aplikasi yang ada di Path, membuat aktualisasi palsu itu jadi semakin mudah dan semakin besar."

Saat mendengar ini, saya berpikir "yes, he is totally right". Walau sebenarnya bukan porsi kita untuk menilai apa yang orang itu lakukan benar atau nggak, biarkan lah itu jadi urusan mereka, tapi secara garis besar, social media memang mematikan kratifitas orisinil dari seseorang. Atau malah menjadi media untuk menjadi lebih kreatif in another way? Haha, terserah, its your right to judge. Tapi yang jelas obrolan dan sudut pandang dari teman tadi somehow mendukung pendapat pacar saya mengenai social media, dan membuat saya jadi semakin berpikir bahwa apa yang dikatakan mereka memang 100% benar.

Jadi, sekarang, to live with or without social media? For me, (still try) to use it wisely, which is hard (hahaha). Oh wait, postingan ini akan bertolak belakang dengan kepentingan pekerjaan saya sebagai digital marketing. Karena pekerjaan saya tetap membutuhkan crowd di social media, jadi saya sarankan jangan tinggalkan social media, ya.. please. Hahahahaha xDD







Comments

Popular posts from this blog

Adams Catering Jakarta - Wedding Package Review (2018)

Hola! Setelah tiga bulan, akhirnya satu per satu gw akan bayar hutang! Alias bayar hutang cerita, atau review mengenai vendor-vendor pernikahan gw yang lalu. Haha maaf lama yes, incess masih proses adaptasi dulu nih. Mulai dari adaptasi dari biasa tidur sendiri jadi berdua, sampe adaptasi bahasa, karena dari yang biasa lo lo gw gw di bekasi dan jakarta, sekarang jadi aku, kamu, nyong, koen, panjenengan, dan teman-temannya. Iyes, I finally moved out of Jakarta and stay for good in Jogjakarta, ihiy! Ok, review pertama, yang sudah banyak banget orang tanya di Instagram gw adalah review untuk wedding package yang gw ambil dari Adams Catering. Ok, first thing first, Adams Catering itu penyedia jasa catering yang juga melengkapi pelayanan jasa mereka dengan wedding package yang cukup lengkap dan ekonomis, mulai dari catering (iyalaaaah), decor, photography, make up & attire sampai pengarah acara dan hiburan. Kamu bisa lihat instagram mereka di sini: https://www.instagram.com/adamscater

Kopi Murah di Family Mart

Sebenernya sudah agak telat sih posting ini sekarang haha. Tapi gak papa, hitung-hitung latihan nulis lagi, isinya gak terlalu aktual dikiiitt gak papa yaaaa.. Akhir bulan ini tepat dua bulan gw kerja di tempat baru. Suasana baru, kebiasaan baru, adaptasi baru. Salah satu adaptasi yang masih agak berat adalah absennya gw dari dunia perkopian yang biasanya cuma bersin aja di kemang gw langsung pindah tempat dari satu coffee shop dengan picollo latte yang enak ke coffee shop lain dengan pilihan kopi lainnya yang juga enak. Sekarang gw di mega kuningan. Sempet panik, oh my, di mana gw bisa nemuin picollo latte enak yang bersin doang sampe di mega kuningan? Drama. Haha.. But hey, ternyata ada kabar bahagia! *naon iyeu teh ah*. Iyah, jadi bulan lalu itu pas mini market di basement gedung kantor baru mulai jualan kopi. Mungkin karena promo masih baru yah, demi bersaing dengan coffee shop di sekitarnya, dia jualan cuma Rp10.000 saja per cup! Murah yak! Apalagi pas promo awal dibagi voucher di

Sugar High! yum yum!

Maafkan karena baru nulis tentang ini hari ini. Padahal waktu itu dateng ke tempatnya udah dari bulan Januari.. Abisnya ga sempet mulu deh gw mau nulis.. adaaaa aja yang harus dikerjain. Januari lalu, tim digital marketing gw lagi cari sponsor kecil-kecilan untuk hadiah program untuk salah satu klien gw. Karena programnya program valentine, jadi salah satu hadiahnya kita cari voucher makan. Dengan bermodal kenalan dari Shafiq, akhirnya jalan lah kita ke Sugar High, Jakarta. Tempatnya mungiiill.. hihi.. tapi begitu masuk, gw langsung suka sama auranya. Warna dominan putih, tosca, dan pink pangsung menyambut mood gw yang waktu itu lagi lumayan warna-warni :D Masuk kesana yang pertama menarik perhatian adalah tempat lampunya. Dibuat dari sangkar burung yang di-cat sesuai dengan warna nuansa ruangnya. Kemudian satu sisi tembok yang dibuat sebagai papan menu. Dengan warna dasar hitam dan tulisan menu dari kapur warna warni, "dinding menu" ini menambah kesan manis di tem